Selasa, 23 Desember 2008

PEMBAHASAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH

Dalam uraian di atas telah dijelaskan bahwa DPRD memiliki peluang dan kewenangan yang luas dalam pembentukan peraturan daerah. Untuk itu dengan peluang dan kewenangan tersebut adakah kemauan dan kemampuan para anggota DPRD untuk melaksanakan kewenangannya dalam pembuatan Perda.Pengkajian terhadap rancangan peraturan daerah akan difokuskan pada tahap-tahap pembahasannya. Hal ini untuk menemukan norma tentang peluang dimana partisipasi masyarakat dalam proses pembahasan rancangan peraturan daerah dapat dilakukan beserta mekanismenya.Rancangan Perda disampaikan oleh anggota, komisi, gabungan komisi, dan atau alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang legislasi (Pasal 141 ayat (1) UU No. 32/2004) dan Pasal 28 ayat (1) UU No. 10/2004. Berdasarkan atas ketentuan tersebut gagasan untuk membentuk sebuah Perda dapat diusulkan oleh setiap anggota DPRD. Dalam undang-undang tersebut tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang berapa jumlah anggota dapat mengusulkan sebuah perda. Namun DPRD sebagai lembaga politis, usulan anggota untuk membentuk Perda setidak-tidaknya akan dilakukan dengan mekanisme politis juga, yakni ada tidaknya dukungan dari anggota lain yang merasa berkepentingan. Berbeda dengan yang mengusulkan komisi, gabungan komisi atau kelengkapan DPRD bidang legislasi tidak perlu menghitung jumlah anggota karena mereka merupakan alat kelengkapan DPRD. Dengan demikian, pada prinsipnya setiap anggota DPRD dapat memberikan usulan, dimana materinya dapat berasal dari hasil audiensi maupun hasil penjaringan di masyarakat ketika masa reses dilakukan. Pelaksanaan legislasi daerah merupakan tugas dan wewenang serta salah satu fungsi penting dari DPRD yang rutin dilakukan menyangkut produk hukum Peraturan Daerah, namun dalam struktur alat kelengkapan DPRD tidak ada alat khusus DPRD yang membidangi legislasi daerah. Dalam Pasal 46 (1) UU Pemerintahan Daerah, alat kelengkapan DPRD terdiri atas :
a. Pimpinan;
b. Komisi;
c. Panitia Musyawarah;
d. Panitia Anggaran; Badan Kehormatan; dan
e. Alat kelengkapan lain yang diperlukan.
Dari ketentuan Pasal tersebut, sebenarnya ada dasar untuk membentuk badan legislasi daerah yang khusus menangani pembentukan Perda, tinggal kemauan untuk itu. Jika ada badan legislasi daerah tentunya proses penampungan aspirasi dalam rangka partisipasi masyarakat akan lebih mudah dan efektif.Tahapan pembahasan rancangan peraturan daerah baik rancangan yang berasal dari DPRD maupun dari Kepala daerah baik dalam PP No. 25/2004 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Tata Tertib DPRD maupun dalam Kepmendagri No. 162/2004 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Tata Tertib DPRD (yang munculnya menimbulkan polemik karena Kepmendagri tersebut ditetapkan lebih dahulu yaitu tanggal 12 Juli 2004, sedang PP tersebut ditetapkan dan diundangkan pada tanggal 28 Agustus 2004 ) dibagi dalam 4 tahap atau tingkatan yang dilakukan DPRD bersama Kepala daerah. Pembicaraan tingkat pertama, meliputi : penjelasan Kepala Daerah dalam Rapat Paripurna tentang penyampaian Raperda yang berasal dari Kepala Daerah, atau penjelasan dalam Rapat Paripurna oleh Pimpinan Komisi/Gabungan Komisi atau Pimpinan Panitia Khusus terhadap Raperda dan atau Perubahan Perda atas usul prakarsa DPRD. Pembicaraan tingkat kedua meliputi :
1. Dalam hal Raperda yang berasal dari Kepala Daerah:
a) pemandangan umum dari fraksi-fraksi terhadap Raperda yang berasal dari Kepala Daerah,
b) jawaban Kepala Daerah terhadap pemandangan umum fraksi-fraksi.
2. Dalam hal Raperda atas usul DPRD:
a) pendapat Kepala Daerah terhadap Raperda atas usul DPRD
b) jawaban dari fraksi-fraksi terhadap pendapat Kepala Daerah
Pembicaraan tingkat ketiga, meliputi pembahasan dalam rapat Komisi/Gabungan Komisi atau Rapat Panitia Khusus dilakukan bersama-sama dengan Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk. Pembicaraan tingkat keempat meliputi :
1) pengambilan keputusan dalam Rapat Paripurna yang didahului dengan :
a. laporan hasil pembicaraan tahap ketiga;
b. pendapat akhir fraksi;
c. pengambilan keputusan.
2) penyampaian sambutan Kepala Daerah terhadap pengambilan keputusan.
Terhadap Raperda yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan Kepala Daerah disampaikan oleh Pimpinan DPRD kepada Kepala Daerah untuk ditetapkan menjadi Peraturan Daerah. Bagaimana jika dalam masa sidang terdapat dua rancangan peraturan daerah, yaitu dari DPRD dan dari Kepala daerah. Pengaturan terhadap hal ini dapat ditemukan dalam UU No. 10/2004 Pasal 31 dan UU No. 32/2004 Pasal 140 ayat (2) “Apabila dalam suatu masa sidang, gubernur atau bupati/walikota dan dewan perwakilan rakyat daerah menyampaikan rancangan peraturan daerah mengenai materi yang sama, maka yang dibahas adalahrancangan peraturan daerahyang disampaikan oleh dewan perwakilan rakyat daerah, sedangkan rancangan peraturan daerah yang disampaikan oleh gubernur, bupati/walikota digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan”. Ketentuan dalam dua UU tersebut berbeda dengan ketentuan dalam PP No. 25/2004 Pasal 96 dan Kepmendagri No. 162/2004 Pasal 100. Dua pasal dalam dua produk hukum tersebut menegaskan, Apabila terdapat dua Rancangan Peraturan Daerah yang diajukan mengenai hal sama, yang dibicarakan adalah Rancangan Peraturan Daerah yang diterima terlebih dahulu, sedangkan Rancangan Peraturan Daerah yang diterima kemudian dipergunakan sebagai pelengkap.
Secara prosedur dan substansial ketentuan dalam Peraturan Pemerintah dan Kepmendagri tersebut terjadi penyimpangan (konflik) dari ketentuan dalam dua UU tersebut. Secara prosedur, menurut UU yang akan dibahas jika ada dua Raperda yang diajukan secara bersamaan dalam masa sidang yang sama adalah Raperda yang dari DPRD, namun menurut PP dan Kepmendagri yang dibicarakan (yang diutamakan) untuk dibahas adalah Raperda yang diterima terlebih dahulu. Artinya jika yang diterima lebih dahulu Raperda dari Kepala Daerah, maka Raperda tersebut yang akan diutamakan untuk dibahas. Ketentuan dalam PP dan Kepmendagri tersebut menafikkan (menghilangkan) prinsip yang mengutamakan Raperda usulan DPRD. Hal ini bertentangan dengan ketentuan Pasal 95 ayat (1) Kepmendagri tersebut yang menegaskan bahwa, DPRD memegang kekuasaan membentuk Peraturan Daerah. Secara substansial, Raperda dari Kepala Daerah jika yang diutamakan untuk dibahas Raperda yang dari DPRD, menurut kedua UU tersebut digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan. Artinya Raperda dari Kepala Daerah akan dijadikan bahan untuk dibandingkan dengan prinsip jika Raperda dari DPRD tidak atau kurang sempurna, maka Raperda dari Kepala Daerah dapat dijadikan bahan bandingan. Sedang menurut PP dan Kepmendagri, Raperda yang diterima kemudian (bisa dari DPRD atau dari Kepala Daerah) dipergunakan sebagai pelengkap.
Bagaimana penyelesaiannya jika terjadi konflik norma seperti tersebut di atas. Dalam teori hukum jika terjadi konflik norma (antinomi) maka penyelesaiannya adalah dengan menggunakan asas-asas dalam hukum (PM Hadjon, 1994:13) yakni asas “lex superior” lex superior derogat legi inferiori”, undang-undang yang lebih tinggi mengalahkan yang lebih rendah.Berdasarkan uraian di atas, jelas sekali bahwa DPRD memiliki kewenangan yang lebih luas untuk mengusulkan rancangan peraturan daerah dalam proses legislasi daerah. Untuk itu bagaimana mengoptimalkan dan melaksanakan (politik hukum positsif) kewenangan tersebut dengan melibatkan rakyat didaerah melelui elemen-elemen masyarakat yang berkompeten untuk itu. Sebab hakekat dari otonomi daerah (sebagai pelaksanaan dari desentralisasi baik politik maupun ekonomi) adalah untuk mendekatkan dalam proses pengambilan kebijakan/keputusan dengan rakyat daerah setempat ( Ibnu, 2005 : 2).
Dengan kedudukan DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat di daerah, dan kewenangan yang lebih luas dalam proses pembentukan peraturan daerah, maka sikap responsi anggota DPRD dan terjalinnya komunikasi yang intensif dan harmonis dengan rakyat di daerah sangat tepat jika rakyat menyampaikan partisipasinya dalam proses pembahasan dan penentuan sebuah Perda melalui lembaga ini. Terhadap hal ini penjelasan Pasal 139 ayat (1) UU No. 32/2004 menegaskan, hak masyarakat (hak untuk memberikan masukan dalam rangka penyiapan atau pembahasan Raperda) dalam ketentuan ini dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Tata Tertib DPRD.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar